Minggu, 10 Oktober 2010

Perkawinan adalah ibadah

HAJI : MENUJU KESALEHAN INDIVIDU DAN KESALEHAN SOSIAL



1. PENGERTIAN.
Ibadah haji adalah merupakan salah satu pilar agama Islam, yang diwajibkan bagi orang-orang yang sudah memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-qur`an Surat Ali Umran ayat 97 yang artinya " Dan Allah mewajibkan ibadah haji bagi orang-orang yang sudah mempunyai kemampuan untuk menunaikannya ". Ibadah haji juga dikatakan sebagai puncak tertinggi dari ibadah yang dilaksanakan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Betapa tidak, karena ibadah haji merupakan perpaduan antara ibadah maaliyah (harta), ibadah badaniyah (Jasad) dan ibadah qalbiyah (hati).
Badan ikut melaksanakan, hati ikut berperan dan harta pun turut menentukan. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak bisa dicerai pisahkan, dan masing-masing mempunyai peranan yang sangat urgen dalam menentukan berhasil tidaknya seluruh ibadah yang akan dilaksanakan.
Oleh karena itu, jika salah satu saja tidak dimiliki, maka cita-cita untuk melaksanakan ibadah haji, tidak akan terwujud. Lantas, kalau ibadah haji dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan, maka sesungguhnya banyak pengalaman dan hikmah yang dapat dipetik dari pelaksanaan ibadah haji. Bercorak ragamnya manusia yang hadir di Padang `Arafah paling tidak akan menyadarkan calon jamaah haji, bahwa dia bukan hanya makhluk pribadi yang hidup sendiri. Akan tetapi ia juga makhluk sosial yang perlu menjalin kebersamaan. Itulah sebabnya, Rasulullah menegaskan dalam sebuah haditsnya yang berbunyi " Haji itu di Padang `Arafah".
Apa yang diucapkan Rasulullah tersebut, tentu mengandung hikmah. Namun yang jelas, dari pengertian harfiahnya dapat kita fahami bahwa `Arafah artinya mengenal, mengetahui dan menyadari, sedangkan wuquf adalah berhenti atau konsisten.
Maka dengan demikian, wuquf di Padang `Arafah sebagai refleksi puncak dari perjalanan ibadah haji, tujuannya adalah agar dalam diri orang yang haji, semakin tertanam pengenalan terhadap dirinya dan lingkungannya. Sehingga dengan kesadaran tersebut, tercapailah wujud kesalehan individu dan kesalehan sosial yang hakiki.
Ini bukan sebuah harapan yang mustahil dan ambiguitas. Hanya saja cita-cita ini tergantung kepada kwalitas ibadah seorang calon jamaah haji, ketika melaksanakan ibadah haji di tanah suci dan bagaimana mengaplikasikan ibadah tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.


2. MENUJU KESALEHAN INDIVIDU DAN KESALEHAN SOSIAL.
Pelaksanaan ibadah haji diharapkan mampu untuk melahirkan sosok hamba Allah yang saleh. Baik hamba yang memiliki kesalehan individu maupun kesalehan sosial. Manifestasi dari pengamalan dan pengalaman dalam perjalanan ibadah haji, kiranya dapat menambahkan wawasan keagamaan yang semakin luas. Sehingga kesalehan mereka secara pribadi dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah dan di hadapan masyarakat. Karena sepulangnya dari tanah suci, mereka akan dijadikan sebagai contoh dan suri teladan di tengah-tengah masyarakat.
Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri, karena dalam masyarakat idenditas haji sering dijadikan orang sebagai barometer dan perbandingan. Kalau ada orang yang berbuat salah, kemudian seorang haji berbuat salah, maka tidak jarang kita dengar masyarakat mengatakan " pak haji atau pun haji aja yang begitu ". demikian sebaliknya, kalau seorang berbuat baik, orang pun akan mengikutinya dan menjadikannya sabagai figur dan teladan.
Itulah sebabnya, pada masa penjajahan, predikat haji mempunyai daya pikat, kharisma dan wibawa, karena akhlaknya bagus dan sifatnya yang penyayang. Berbeda dengan sekarang ini, kharisma dan kewibawaan yang dikandung haji semakin meredup.
Fenomena ini disebabkan karena haji bukan lagi dijadikan sebagai wahana untuk penyadaran diri, akan tetapi untuk menambah prestise dan pemenuhan rukun Islam yang kelima saja.
Kenyataan ini dapat kita rasakan, jika dikaitkan dengan konteks ke Indonesiaan. Begitu banyak jumlah pelaksana haji dari Indonesia, namun kesan yang timbul adalah pengaruh yang dibawa oleh mereka, nyaris tidak ada. Malah segelintir mereka, tetap saja seperti melaksanakan ibadah haji. KKNnya merajalela, suap semakin subur, shalat terus maksiat jalan. Ironis memang, tetapi apa boleh buat, inilah yang sedang melanda kita sekarang ini.
Kesan ini sebenarnya sangat disayangkan, karena di samping fungsi teologis dari jajaran Islam yang terkandung dalam ibadah haji, tidak membekas dalam pribadi calon haji. Di sisi lain, betapa sia-sianya waktu dan biaya yang telah diluangkan oleh seorang calon haji, berangkat jauh-jauh ketanah suci.
Ketika pengalaman dan pegamalan beribadah di tanah suci tidak tervisualisasi dalam kehidupan sehari-hari. Maka makna filosofis ibadah haji pun turut kehilangan nilai. Untuk itu, kesalehan individu hanya akan terwujud jika pengenalan terhadap diri, ketika tawaf di Padang `Arafah, mampu di proyeksikan melalui tindakan-tindakan nyata dalam kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat. Maka dalam konteks kehidupan bermasyarakat, nilai-nilai ibadah haji yang mengandung dimensi spritual yang tinggi, berupa nilai-nilai spritual sosial, harus dihidupkan dan dimanifestasikan.
Ketika calon jamaah haji dapat merealisasikan pengalaman ibadahnya dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya, maka sesungguhnya inilah yang dinamakan dengan haji mabrur. Meskipun ini dianggap pendapat yang awam, namun sangat logis sebenarnya jika masyarakat mengukur kemabruran dan kesalehan seorang haji dari sikapnya setelah pulang dari tanah suci. Walau bagaimana pun, haji dikatakan sebagai suatu ibadah yang berdimensi vertikal, yang menilai itu adalah Allah. Namun apalikasi kemabrurannya sangat ditentukan oleh dimensi horizontal, yakni hubungan yang baik sesama hamba Allah.
Dengan demikian, ibadah haji yang mabrur adalah ibadah haji yang membawa perubahan positif, dalam diri orang yang melaksanakan secara khusus dan kepada seluruh masyarakat pada umumnya. Umpamanya, ada perubahan dari akhlak tercela kepada akhlak terpuji, perkataan yang suka bohong kepada kepada perkataan jujur, dari sifat kikir menjadi pemurah. Untuk itu, kita sangat berharap agar gelar haji tidak hanya sekedar untuk menambah status sosial, wibawa dan prestise dalam masyarakat. Akan tetapi, ibadah yang benar-benar mampu membentuk pribadi-pribadi yang sadar akan tanggungjawabnya sebagai makhluk sosial dan bermasyarakat, dengan keyakinan totalitas Islam sebagai pandangan hidup.
Jika hal inilah yang terjadi terhadap orang-orang yang melaksanakan ibadah haji. Maka ibadahnya akan menghasilkan individu-individu yang betambah tinggi komitmen ke Islamannya. Oleh karenanya, Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, yang artinya " Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah ibadah haji ". Untuk mewujudkan cita-cita akhir dari pelaksanaan ibadah haji, yakni kesalehan individu yang beraplikasi kepada kesalehan sosial. Maka setiap calon haji harus meresapi makna pelaksanaan ibadah haji sebagai peristiwa hati, masa menengok keimanan kepada Tuhan, keadilan, kebenaran, perdamaian dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Agar makna filosofis kemasyarakatn yang terkandung dalam ibadah haji tidak hilang.

3. PENUTUP
ibadah haji menyediakan peluang seluas-luasnya bagi calon jamaah haji, untuk naik ke taraf kesucian dan kesejatian diri. Untuk itu, dalam konteks ibadah haji, setiap orang diajarkan untuk menyadari bahwa dia bukan hanya makhluk pribadi yang hidup sendiri. Akan tetapi, ia juga makhluk sosial yang bertanggung jawab atas kondisi masyarakat sekitarnya.
Akhirnya, semoga aplikasi pengamalan dan pengalaman perjalanan dari ibadah tersebut mampu melahirkan pribadi-pribadi haji yang memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial. Sekaligus pribadi yang mampu merangsang individu lain untuk menuju ke arah yang lebih positif dan dinamis dalam kehidupan bermasyarakat. Agar pelaksanaan ibadah haji tidak hanya sebatas ritual dan pemenuhan rukun Islam yang kelima. Mudah-mudahan harapan ini akan terwujud, amin yaa rabbal `alamin.

Tentang kebudayaan

PENDAHULUAN



a. Latar Belakang.

Setiap Bangsa yang telah hancur atau hilang dari sejarah dipermukaan bumi ini sehingga tidak meninggalkan bekas sedikit juga, dimana kehancuran dimaksud bukan berarti punahnya jenis satu bangsa, akan tetapi punahnya exestensi dan idenditas (kebudayaan) bangsa tersebut. Kalau kita katakan Bagsa Babilon atau Bangsa Mesir Kuno (zaman Fir`un) telah hancur, maka maksudnya adalah hancurnya anasir-anasir kebudayaan bangsa tersebut yang selama ini mereka junjung tinggi, hancurnya watak bangsa tersebut bagaikan debu yang berterbangan yang selama ini menjadi lambang kebanggaan mereka.

Meskipun keturunan bangsa Babilon dan Mesir Kuno itu masih kita dapati sekarang dan terus berkembang, akan tetapi apa yang dinamakan dengan kebudayaan Babilon dan Mesir Kuno sudah punah sama sekali, sebab generasi penerus dari bangsa-bangsa itu tak mampu, baik untuk menerima warisan kebudayaan nenek moyang mereka maupun untuk mewariskannya kepada generasi sesudah mereka.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap bangsa apabila wataknya telah lebur dalam kepribadian bentuk lain, berarti kehancuran bangsa itu sendiri. Dalam sejarah tertulis hilangnya 12 kabilah Bangsa Israel yang sampai sekarang ini masih belum diketahui nasib mereka, tapi hal yang demikian tak dapat ditafsirkan bahwa mereka telah dibunuh semua dan ditelan oleh perut bumi. Sesuai dengan kesimpulan diatas, mereka sebetulnya telah kehilangan kepribadiaannya, karena kepribadian mereka yang asli tak pernah diwariskan kepada generasi muda, akibatnya hilanglah anasir-anasir kebudayaan Bani Israel dan di bawa kebudayaan bangsa lain, sehingga keturunan mereka tak dikenal lagi bahwa mereka itu adalah keturunan Bani Israel. Justru itu utuh dan kekalnya kehidupan suatu bangsa bergantung kepada perhatian bangsa itu sendiri terhadap generasi mudanya dengan jalan mendidik mereka sehingga mampu mempertahankan dan memelihara kepribadianya.


PEMAHAMAN DAN PENGERTIAN KEBUDAYAAN.

a. Pengertian Kebudayaan.

Kata-kata kebudayaan itu mempunyai berbagai pengertian yang berbeda-beda, yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan definisi-definisi itu adalah disebabkan ruang lingkup kebudayaan itu amat luas dan masing-masing ahli menekankan atau memandangnya dari aspek-aspek tertentu. Apabila kita perbandingkan definisi-definisi itu dan dalami maknanya, akan kita temukan titik persamaan, ada saling keterkaitan dan mempunyai tujuan yang sama, jika kebudayaan itu dipandang dalam asosiasi masyarakat, maka akan timbul pengertiannya adalah kesenian. Kadang-kadang ditambah dengan pengertian adat yang khas atau unik dianut suatu masyarakat. Tetapi pengertian akademik jauh lebih luas. Dari pembahasan diatas, maka kita dapat menyimpulkan dan merumuskan suatu definisi kebudayaan, yang beraspek akal atau berorientasi kepada rohani ialah : cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk masyarakat, dalam suatu ruang dan suatu waktu.

Ta`rif ini dapat diperpendek lagi yaitu : “ cara berpikir dan cara merasa dalam kehidupan “. Dan juga dapat dipendekkan lagi yaitu “ cara hidup “ a way of life, inilah pengertian kebudayaan yang telah disepakati oleh ahli-ahli dari berbagai definisi yang berbeda-beda itu.





b. Ruang lingkup Kebudayaan.
Kebudayaan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan, kehidupan ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup. Tapi peristiwa yang berhubungan dengan masyarakat, yang dialami oleh tiap pribadi (individu) semenjak ia lahir sampai mati, masuk kedalam kehidupan dan diliputi oleh kebudayaan. Jika demikian, alangkah luasnya ruang lingkup kebudayaan itu! Memang demikian menurut pandangan ilmiah. Karena keluasan tanpa batas itu pandangan tentang “ apakah itu kebudayaan “ mudah menjadi kabur dan hilang. Maka untuk memperjelas pandangan tentang ruang lingkup kebudayaan itu timbullah sebuah teori antropologi yaitu : “ cultural universal atau aspek-aspek universal kebudayaan “ yang dimaksud dengan istilah ini adalah : “ segi-segi kebudayaan yang universals ada dalam kebudayaan. Jadi dalam tiap-tiap kebudayaan dahulu dan kini. Disini dan disitu. Bila dan dimanapun, ditemukan segi-segi atau bidang-bidang tertentu yang selalu ada. Untuk itu coba anda lihat pembahasan cultural universals dalam pola kebudayaan sejagat.


KAITAN KEBUDAYAAN DENGAN BERBAGAI ILMU.

a. Dengan sosial.

Sosial itu adalah : Tata hubungan manusia dengan manusia, kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial merupakan masyarakat. Antara masyarakat dan kebudayaan terjalin saling-hubung dan saling-pengaruh yang ketat sekali. Masyarakat adalah wadah kebuadayaan. Dan kebudayaan membentuk masyarakat. Masyarakat ialah kelompok besar manusia, dalam mana hidup terjaring kebudayaan yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai kebudayaan mereka. Cara berfikir dan cara merasa itu membentuk cara hidup (cara bergaul, berhubungan antara seseorang dengan lainnya, berumah tangga, berekonomi, mengatur masyarakat, seni dan lain-lain. Cara hidup ini berisikan cara bertindak, cara berlaku atau cara berbuat. Jika itu mempunyai nilai, maka ia lakukan dan jika tidak bernilai, maka ia tinggalkan perbuatan tersebut. Dan disebut dengan kebudayaan bersahaja atau primitif.



b. Dengan Ekonomi.

Ekonomi adalah : Tata hubungan manusia dengan benda, Ekonomi juga disebut segala sesuatu yang menyangkut dengan benda-benda mateial, yang diperlukan oleh manusia dalam kehidupan duniawinya, maka ekonomi sangat erat kaitannya dengan kebudayaan itu sendiri, sebab kebudayaan punya ruang lingkup yang sangat luas sekali, seperti kebudayaan suatu daerah adalah berternak sapi, maka itu adalah suatu kebudayaan yang jelas dan nyata. Dan kebudayaan ini disebut dengan kebudayaan sekularisme atau kebudayaan Barat.

c. Dengan Politik.
Politik itu adalah : Tata hubungan manusia dengan kekuasaan, yang mana dengan adanya keikutsertaan budaya didalamnya dapat mempererat kaitan atau hubungan yang timbul dari perpaduan antara kebudayaan dan politik tersebut. Sebab berpolitik tanpa kebudayaan akan menjerumuskan seseorang kepada politik yang jahat, yang jauh dari nilai-nilai kebudayaan itu sendiri.

d. Dengan Pengetahuan dan Teknik.
Pengetahuan dan Teknik ialah : Tata hubungan manusia dengan alam dan kerja, demi untuk membentuk manusia yang mempunyai kebudayaan yang tinggi juga pengetahuan yang memadai, sebab kebudayaan jika dikaitkan dengan pengetahuan dan teknik, tentu akan terjadi kaitan yang sangat kuat sekali, sebab nilai-nilai kebudayaan itu itu sedikit banyaknya dapat dicerminkan dari pengetahuan dan teknik tersebut, kaitan tersebut tentu punya nilai plus dan minusnya, yang nilai tersebut tak bisa dipisahkan dan tak bisa disangsikan keberadaannya.

e. Dengan Kesenian.
Kesenian adalah : Tata hubungan manusia dengan keindahan atau bentuk-bentuk yang menyenangkan estetik, sehingga suatu kebudayaan itu sangat menarik untuk ditelusuri dan jelajahi, karena dibalik itu tersimpan suatu nilai yang sangat menarik sekali, kesenian dan kebudayaan adalah dua istilah yang punya pemahaman hampir sama, karena ada yang menafsirkan kebudayaan adalah kesenian, sebagaimana yang telah diuraikan didalam pengertian kebudayaan. Dan kebudayaan ini disebutkan sebagai kebudayaan komunis, seperti kebudayaan jawa.

f. Dengan Filsafat
Filsafat ialah : Tata hubungan manusia dengan hakikat kebenaran dan nilai, untuk memahami hubungan filsafat dengan kebudayaan, dan paranan filsafat atas kebudayaan, maka kita harus tahu bahwa kebudayaan itu hanya ada pada manusia, sebab kebudayaan itu berlandaskan akal, dan hanya manusia yang yang berakal, karena manusia mempunyai ruh atau jiwa, yang menyatakan diri kepada berpikir dan merasa ruhaniah. Karena kehudupan batiniah dan ruhaniahlah yang merupakan pangkal kebudayaan. Sedangkan filsafat adalah berpikir secara sistematik. Radikal dan universal, yang berujung kepada sikap jiwa. Apabila kita perbandingkan diantara kedua definisi tersebut, maka antara definisi kebudayaan dan filsafat itu bersatu dalam hal berpikir. Dengan demikian jelaslah bahwa filsafat itu mengendalikan cara berpikir kebudayaan. Dan disebut kebudayaan melalui filsafat adalah kebudayaan sejagad.


g. Dengan Agama.
Agama adalah : Tata hubungan manusia dengan Tuhan dan alam gaib, didalam bahasa Indonesia kabur sekali dan kacau pengertiannya, namun ada yang mengatakan bahwa agama itu adalah kepercayaan, dan agama ada yang membagi agama itu kepada dua :
1. Agama Budaya : Agama budaya adalah : agama yang lahir dari kebudayaan, dan ia tumbuh dibumi, maka adalah agama bumi dibentuk oleh filsafat masyarakat ( dirumuskan oleh filosof masyarakat, apakah ia pemimpin atau penganjur agama).
2. Agama langit : Agama langit ialah : yang duturunkan dari langit melalui wahyu dari Tuhan.

Diantara kedua Agama tersebut banyak sekali perbedaanya, maka berdasarkan pemahaman yang telah diuraikann diatas, hanya agama bumi yang ada hubungannya dengan kebudayaan. Dan kebudayaan yang berlandaskan agama adalah kebudayaan Islam.


PENUTUP.

a. Kesimpulan.

Kebudayaan membina kehidupan manusia dalam mencapai keperluan-keperluan asasnya. Pembinaan itu dengan mengatur sistem atau tata hubungan dengan perkara-perkara yang dihadapi dalam kehidupan : seperti sosial, ekonomi, politik, pengetahuan dan teknik, seni, filsafat dan Agama. Kesemua tata hubungan itu yang membentuk cara hidup, bertujuan untuk memahami keperluan asasi manusia.




b. Penutup dan Saran.

Seiring dengan kemajuan zaman seperti sekarang ini, maka sangatlah diperlukan kehati-hatian yang ekstra sekali mengenai dengan berrbagai kebudayaan yang telah ada disekitar kita, sebab telah banyak orang Islam sekarang ini yang meniru kebudayaan-kebudayaan yang tidak mencerminkan agama, dari perbuatan, perkataan dan juga pakaian, kenapa ini bisa terjadi, alasanya cuma satu yaitu kurangnya pemahaman orang-orang tentang pengertian kebudayaan itu sendiri. Maka dari itu saya menghimbau kepada teman-teman sekalian untuk memberitahu, menganjurkan orang lain untuk memakai kebudayaan kita yang berasaskan agama, karena itu adalah budaya orang Islam.

Pada makalah ini sedikit telah saya bahaskan mengenai masalah kebudayaan dan kaitan-kaitannya, menurut ilmu yang saya miliki dan materi yang saya kuasai, dengan satu harapan agar kita tidak lagi tertipu, dan berkebudayaan dengan budaya yang tidak mencerminkan ciri khas orang Islam.

Tentang Poligami

HIKMAH POLIGAMI DALAM ISLAM



A. PENDAHULUAN.
Melalui tulisan kecil ini, saya ingin sedikit memaparkan dengan ringkas tentang masalah poligami, yang mana oleh orang-orang barat (orientalis) menganggap masalah poligami ini sebagai bukti cacat/buruknya syari`at Islam. Sungguh aneh, pandangan orang Barat (orientalis) yang salah ini begitu berpengaruh atau meracuni sebagian besar kaum muslimin serta para ulama dan penguasanya (pemerintah), khususnya di negara yang mayoritas masyarakatnya adalah ummat Islam. Sehingga mereka berusaha keras untuk menghapus syari`at poligami ini atau membatasinya dengan syarat-syarat yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah swt. misalnya, harus ada persetujuan dari isteri pertama, atau harus membayar sejumlah uang yang sangat memberatkan suami, atau harus menyerahkan keputusan boleh tidaknya pada hakim. Dan cara-cara lainnya, dalam rangka menghambat atau menghalangi praktik poligami ini.
Realitas yang seharusnya diketahui oleh semua orang, bahwa poligami sebenarnya merupakan suatu hal yang patut dibanggakan dalam Islam, karena dengan ketentuan syari`atnya yang abadi, Islam sanggup memberikan solusi dan jalan keluar terhadap problematika sosial yang sangat pelik yang senantiasa menjadi perhatian masyarakat luas. Yang mana persoalan tersebut tidak akan berhasil diselesaikan kecuali dengan kembali kepada ajaran dan sistem Islam.
Banyak orang yang mengecam praktik poligami ini, namun mereka sama sekali tidak pernah mengecam praktik poliandri yang berlangsung di sekitar mereka. Sangat sedikit sekali anda temukan masyarakat Barat yang mempunyai satu isteri saja, bahkan di antara mereka ada yandg sampai mempunyai sepuluh orang wanita simpanan atau gundik. Mereka melakukan hubungan gelap, perselingkuhan dan penyelewengan seksual, namun mereka tidak menganggap hal tersebut sebagai perbuatan hina dan kotor. Karena, menurut mereka, mereka mempunyai kebebasan mutlak dalam menyalurkan kebutuhan seks atau free sex, selama hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka, bahkan undang-undang di sana memperbolehkan praktik tersebut.
Di Barat, banyak kaum wanita yang menjumpai suaminya tengah bermesraan dan bercinta dengan wanita lain tanpa bisa mencegah dan mengingatkannya. Mengapa hal semacam ini masih bisa terus berjalan tanpa larangan dan kecaman?
Sehingga hal itu memicu timbulnya aksi balas dendam dari kaum wanita, di mana mereka juga melakukan perselingkuhan dengan laki-laki lain sekehendak hatinya. Ia berdansa, bergaul bebas dan berhubungan badan dengan siapa saja yang ia suka, tanpa seorang pun yang dapat mencegahnya, padahal hal itu jelas-jelas sebagai perbuatan yang menyimpang. Ironisnya, semua tindakannya itu diketahui oleh suaminya dan bahkan atas persetujuannya. Dalam hal ini mereka menerapkan konsep, " kamu diam, aku pun diam ". Sehingga seorang wanita untuk menjalankan praktik tersebut tidak perlu sembunyi-sembunyi dari suaminya.
Adakah di antara laki-laki atau wanita Barat itu baik yang sudah menikah ataupun belum yang dengan bangga dan berani mengatakan bahwa saya cukup hanya dengan satu orang isteri atau suami, serta mereka tidak pernah sama sekali melakukan zina dengan pasangannya yang tidak sah, sehingga kita semua berani bersaksi bahwa dia adalah laki-laki atau wanita yang masih suci dan terhormat.
Sangatlah aneh, di satu sisi mereka menilai poligami sebagai suatu hal yang buruk dan tercela, namun pada saat yang sama mereka menganggap praktik gonta ganti pasangan ( free sex ) sebagai suatu hal baik, tidak tercela, dan wajar, karena mereka menganggapnya sejalan dengan prinsip kebebasan individu, atau hak-hak asasi manusia.

B. HIKMAH DISYARI`ATKANNYA POLIGAMI.
Selanjutnya, saya akan membicarakan tentang hikmah disyari`atkannya poligami dalam Islam. Berkenaan dengan hal tersebut Allah swt berfirman :
" Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi ; dua, tiga dan empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berlaku aniaya " (Q.S An-Nisa` ayat 3).
Huruf " waw " dalam ayat itu dimaksudkan sebagai jamak. Dan karenanya, Nabi saw sendiri menikah dengan sembilan orang wanita.
Pendapat tersebut tidak benar dan merusak ijma` yang telah disepakati dan mengabaikan sunnah. Karena, Rasulullah saw telah bersabda kepada Ghailan bin Salamah ketika ia memeluk Islam sedang ia mempunyai sepuluh isteri " pertahankan empat saja dan ceraikan yang lebih ".
Naufal bin Mu`awiyah bercerita, aku memeluk Islam sedang aku masih mempunyai lima isteri, maka Nabi saw berkata " ceraikanlah satu dari mereka ". kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Syafi`i dalam musnadnya.
Jadi, ayat di atas dimaksudkan untuk memberikan pilihan, jika berkehendak, seseorang boleh menikahi dua orang wanita atau tiga atau empat saja, sebagaimana Allah swt juga berfirman :
" segala puji bagi Allah swt pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap masing-masing ada yang dua, tiga atau empat. Allah swt juga menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu ". (Q.S Fathir ayat 1).
Hal itu tidak dimaksudkan bahwa setiap malaikat itu mempunyai sembilan sayap. Karena, jika Allah swt bermaksud hendak mengungkapkan sembilan sayap, niscaya akan menyatakan sembilan secara langsung dan tidak perlu mengungkapkannya secara panjang lebar.
Dan orang yang mengatakan bahwa yang dimaksudkannya adalah sembilan, maka ia termasuk orang yang tidak memahami dan mengerti bahasa Arab. Sedangkan Nabi Muhammad saw yang mempunyai sembilan isteri, maka yang demikian itu merupakan suatu yang hanya dikhususkan bagi beliau.
Dengan demikian, Allah swt telah membolehkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menikahi lebih dari satu orang wanita tetapi tidak boleh lebih dari empat, dengan syarat harus adil dalam memberikan giliran, nafkah, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika seorang laki-laki takut atau yakin tidak akan dapat bersikap adil, maka wajib baginya satu isteri saja. Yang demikian itu dimaksudkan supaya sesuai dengan firman Allah swt :
" yang demikian itu adalah lebih dekat kepada berlaku anianya " (Q.S An-Nisa` ayat 3 ).
Artinya, satu isteri lebih baik baginya dan jauh dari berbuat kezaliman.
C. PERBINCANGAN SEPUTAR POLIGAMI
Poligami merupakan satu hal yang penting sekaligus suatu keharusan dalam kehidupan. Ia bukan hukum baru yang pertama kali diperkenalkan Islam. Tetapi, praktik poligami sebelum Islam telah ada dengan tanpa ikatan dan batasan ia juga berjalan dalam bentuk yang tidak manusiawi. Kemudian praktik poligami tersebut diperbaiki oleh Islam dan dijadikan sebagai sarana mengobati dan menangani berbagai kekacauan dan penyelewengan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pada hakikatnya, konsep poligami ini merupakan salah satu kebanggaan Islam, karena konsep ini berhasil memberi solusi bagi masalah sosial yang paling pelik yang dihadapi umat manusia pada saat ini dan sulit dicarikan jalan keluarnya.
Sesungguhnya kehidupan manusia ini ibarat timbangan yang kedua sisinya harus benar-benar seimbang. Lalu apa yang mesti kita lakukan ketika tidak ada keseimbangan lagi dalam kehidupan, di mana jumlah kaum wanita jauh melebihi jumlah kaum laki-laki? Apakah kita akan melarang wanita menikahi serta menikmati status seorang ibu? Lalu kita biarkan mereka dalam menyalurkan dorongan biologisnya menempuh jalan sesat lagi hina? Ataukah kita akan mencarikan jalan keluar untuk itu dengan cara-cara yang baik dan bijak, dalam rangka menjaga kemuliaan wanita dan mempertahankan kesucian rumah tangga sekaligus menjaga keselamatan masyarakat. Contoh yang paling kongkret untuk yang baru saja kita bicarakan itu adalah fenomena yang terjadi di Jerman pasca Perang Dunia ke II. Ketika itu, jumlah kaum wanita dengan jumlah perbandingan satu banding tiga (1:3). Ini merupakan satu contoh masalah sosial yang sangat pelik. Lalu bagaimana para pembuat undang-undang itu yaitu pemerintah menyikapi hal tersebut? Islam telah memberikan solusi yang terbaik melalui poligami. Pada saat yang sama, pihak Kristen kebingungan menghadapi persoalan ini, tidak dapat berbuat apa-apa serta tidak pula memberikan jalan keluar.
Masyarakat Barat dilarang oleh ajarannya untuk melakukan poligami, tetapi mereka diperbolehkan berkencan dengan lebih dari seratus wanita dengan cara yang sangat tidak terpuji (wanita pelacur). Bahkan ada orang tua di Barat yang bangga puterinya berjalan bersama pacarnya, bahkan memberikan fasilitas dan kemudahan serta kebebasan, sehingga mereka merasa nyaman berbuat apa saja. Hingga akhirnya, hal tersebut menjadi kebiasaan mereka. Dan seringkali mereka memaksa pemerintah mereka untuk mengesahkan hubungan dan praktek mereka yang hina ini. Dengan demikian itu, pintu kebobrokan moral sudah terbuka lebar. Hingga akhirnya pemerintahan mereka mengesahkan praktik ini, yang sebenarnya merupakan persetujuan terhadap praktik " poligami " , tetapi dalam bentuk " perselingkuhan " karena pernikahannya tidak tercatat secara resmi alias kumpul kebo. Dengan demikian itu, seorang laki-laki dapat kapan saja mengusir pasangan kumpul kebonya, karena tanpa terikat dengan hak-hak yang lain. Karena, hubungan yang terjalin di antara mereka hanya sebatas hubungan fisik semata syahwat dan bukan hubungan kekeluargaan dan suami isteri yang sah.
Oleh karena itu, sangat mengherankan sekali orang-orang yang melarang praktik " poligami " yang benar dan halal, namun mereka membolehkannya dalam bentuk yang menyimpang dan haram. Hingga akhirnya, kaum wanita mengalami kejatuhan derajat dari derajat kemanusiaan ke derajat hewan, bahkan lebih rendah daripada binatang.


D. PENUTUP.
Dari uraian pembahasan dan analisis masalah yang telah saya uraikan sebelumnya, maka dapat saya ambil beberapa kesimpulan. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Agama pada umumnya dan Islam khususnya dewasa ini semakin dituntut peranannya untuk menjadi pemandu dan pengarah kehidupan manusia, agar tidak terperosok kepada keadaan yang merugikan dan menjatuhkan martabatnya sebagai makhluk yang mulia.
2. Dalam melakukan suatu perbuatan sangat perlu digunakan berbagai pendekatan dan analisis, demi untuk tidak menimbulkan permasalahan yang baru