Minggu, 10 Oktober 2010

Perkawinan adalah ibadah

HAJI : MENUJU KESALEHAN INDIVIDU DAN KESALEHAN SOSIAL



1. PENGERTIAN.
Ibadah haji adalah merupakan salah satu pilar agama Islam, yang diwajibkan bagi orang-orang yang sudah memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-qur`an Surat Ali Umran ayat 97 yang artinya " Dan Allah mewajibkan ibadah haji bagi orang-orang yang sudah mempunyai kemampuan untuk menunaikannya ". Ibadah haji juga dikatakan sebagai puncak tertinggi dari ibadah yang dilaksanakan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Betapa tidak, karena ibadah haji merupakan perpaduan antara ibadah maaliyah (harta), ibadah badaniyah (Jasad) dan ibadah qalbiyah (hati).
Badan ikut melaksanakan, hati ikut berperan dan harta pun turut menentukan. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak bisa dicerai pisahkan, dan masing-masing mempunyai peranan yang sangat urgen dalam menentukan berhasil tidaknya seluruh ibadah yang akan dilaksanakan.
Oleh karena itu, jika salah satu saja tidak dimiliki, maka cita-cita untuk melaksanakan ibadah haji, tidak akan terwujud. Lantas, kalau ibadah haji dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan, maka sesungguhnya banyak pengalaman dan hikmah yang dapat dipetik dari pelaksanaan ibadah haji. Bercorak ragamnya manusia yang hadir di Padang `Arafah paling tidak akan menyadarkan calon jamaah haji, bahwa dia bukan hanya makhluk pribadi yang hidup sendiri. Akan tetapi ia juga makhluk sosial yang perlu menjalin kebersamaan. Itulah sebabnya, Rasulullah menegaskan dalam sebuah haditsnya yang berbunyi " Haji itu di Padang `Arafah".
Apa yang diucapkan Rasulullah tersebut, tentu mengandung hikmah. Namun yang jelas, dari pengertian harfiahnya dapat kita fahami bahwa `Arafah artinya mengenal, mengetahui dan menyadari, sedangkan wuquf adalah berhenti atau konsisten.
Maka dengan demikian, wuquf di Padang `Arafah sebagai refleksi puncak dari perjalanan ibadah haji, tujuannya adalah agar dalam diri orang yang haji, semakin tertanam pengenalan terhadap dirinya dan lingkungannya. Sehingga dengan kesadaran tersebut, tercapailah wujud kesalehan individu dan kesalehan sosial yang hakiki.
Ini bukan sebuah harapan yang mustahil dan ambiguitas. Hanya saja cita-cita ini tergantung kepada kwalitas ibadah seorang calon jamaah haji, ketika melaksanakan ibadah haji di tanah suci dan bagaimana mengaplikasikan ibadah tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.


2. MENUJU KESALEHAN INDIVIDU DAN KESALEHAN SOSIAL.
Pelaksanaan ibadah haji diharapkan mampu untuk melahirkan sosok hamba Allah yang saleh. Baik hamba yang memiliki kesalehan individu maupun kesalehan sosial. Manifestasi dari pengamalan dan pengalaman dalam perjalanan ibadah haji, kiranya dapat menambahkan wawasan keagamaan yang semakin luas. Sehingga kesalehan mereka secara pribadi dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah dan di hadapan masyarakat. Karena sepulangnya dari tanah suci, mereka akan dijadikan sebagai contoh dan suri teladan di tengah-tengah masyarakat.
Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri, karena dalam masyarakat idenditas haji sering dijadikan orang sebagai barometer dan perbandingan. Kalau ada orang yang berbuat salah, kemudian seorang haji berbuat salah, maka tidak jarang kita dengar masyarakat mengatakan " pak haji atau pun haji aja yang begitu ". demikian sebaliknya, kalau seorang berbuat baik, orang pun akan mengikutinya dan menjadikannya sabagai figur dan teladan.
Itulah sebabnya, pada masa penjajahan, predikat haji mempunyai daya pikat, kharisma dan wibawa, karena akhlaknya bagus dan sifatnya yang penyayang. Berbeda dengan sekarang ini, kharisma dan kewibawaan yang dikandung haji semakin meredup.
Fenomena ini disebabkan karena haji bukan lagi dijadikan sebagai wahana untuk penyadaran diri, akan tetapi untuk menambah prestise dan pemenuhan rukun Islam yang kelima saja.
Kenyataan ini dapat kita rasakan, jika dikaitkan dengan konteks ke Indonesiaan. Begitu banyak jumlah pelaksana haji dari Indonesia, namun kesan yang timbul adalah pengaruh yang dibawa oleh mereka, nyaris tidak ada. Malah segelintir mereka, tetap saja seperti melaksanakan ibadah haji. KKNnya merajalela, suap semakin subur, shalat terus maksiat jalan. Ironis memang, tetapi apa boleh buat, inilah yang sedang melanda kita sekarang ini.
Kesan ini sebenarnya sangat disayangkan, karena di samping fungsi teologis dari jajaran Islam yang terkandung dalam ibadah haji, tidak membekas dalam pribadi calon haji. Di sisi lain, betapa sia-sianya waktu dan biaya yang telah diluangkan oleh seorang calon haji, berangkat jauh-jauh ketanah suci.
Ketika pengalaman dan pegamalan beribadah di tanah suci tidak tervisualisasi dalam kehidupan sehari-hari. Maka makna filosofis ibadah haji pun turut kehilangan nilai. Untuk itu, kesalehan individu hanya akan terwujud jika pengenalan terhadap diri, ketika tawaf di Padang `Arafah, mampu di proyeksikan melalui tindakan-tindakan nyata dalam kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat. Maka dalam konteks kehidupan bermasyarakat, nilai-nilai ibadah haji yang mengandung dimensi spritual yang tinggi, berupa nilai-nilai spritual sosial, harus dihidupkan dan dimanifestasikan.
Ketika calon jamaah haji dapat merealisasikan pengalaman ibadahnya dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya, maka sesungguhnya inilah yang dinamakan dengan haji mabrur. Meskipun ini dianggap pendapat yang awam, namun sangat logis sebenarnya jika masyarakat mengukur kemabruran dan kesalehan seorang haji dari sikapnya setelah pulang dari tanah suci. Walau bagaimana pun, haji dikatakan sebagai suatu ibadah yang berdimensi vertikal, yang menilai itu adalah Allah. Namun apalikasi kemabrurannya sangat ditentukan oleh dimensi horizontal, yakni hubungan yang baik sesama hamba Allah.
Dengan demikian, ibadah haji yang mabrur adalah ibadah haji yang membawa perubahan positif, dalam diri orang yang melaksanakan secara khusus dan kepada seluruh masyarakat pada umumnya. Umpamanya, ada perubahan dari akhlak tercela kepada akhlak terpuji, perkataan yang suka bohong kepada kepada perkataan jujur, dari sifat kikir menjadi pemurah. Untuk itu, kita sangat berharap agar gelar haji tidak hanya sekedar untuk menambah status sosial, wibawa dan prestise dalam masyarakat. Akan tetapi, ibadah yang benar-benar mampu membentuk pribadi-pribadi yang sadar akan tanggungjawabnya sebagai makhluk sosial dan bermasyarakat, dengan keyakinan totalitas Islam sebagai pandangan hidup.
Jika hal inilah yang terjadi terhadap orang-orang yang melaksanakan ibadah haji. Maka ibadahnya akan menghasilkan individu-individu yang betambah tinggi komitmen ke Islamannya. Oleh karenanya, Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, yang artinya " Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah ibadah haji ". Untuk mewujudkan cita-cita akhir dari pelaksanaan ibadah haji, yakni kesalehan individu yang beraplikasi kepada kesalehan sosial. Maka setiap calon haji harus meresapi makna pelaksanaan ibadah haji sebagai peristiwa hati, masa menengok keimanan kepada Tuhan, keadilan, kebenaran, perdamaian dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Agar makna filosofis kemasyarakatn yang terkandung dalam ibadah haji tidak hilang.

3. PENUTUP
ibadah haji menyediakan peluang seluas-luasnya bagi calon jamaah haji, untuk naik ke taraf kesucian dan kesejatian diri. Untuk itu, dalam konteks ibadah haji, setiap orang diajarkan untuk menyadari bahwa dia bukan hanya makhluk pribadi yang hidup sendiri. Akan tetapi, ia juga makhluk sosial yang bertanggung jawab atas kondisi masyarakat sekitarnya.
Akhirnya, semoga aplikasi pengamalan dan pengalaman perjalanan dari ibadah tersebut mampu melahirkan pribadi-pribadi haji yang memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial. Sekaligus pribadi yang mampu merangsang individu lain untuk menuju ke arah yang lebih positif dan dinamis dalam kehidupan bermasyarakat. Agar pelaksanaan ibadah haji tidak hanya sebatas ritual dan pemenuhan rukun Islam yang kelima. Mudah-mudahan harapan ini akan terwujud, amin yaa rabbal `alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar